Sejarah Sosiologi



A.   Sejarah Perkembangan Sosiologi Di Dunia
1.      Sebelum Yunani Kuno (sebelum 600SM)
Mistik adalah sebuah fenomena fisika yang sebenarnya sudah ditemukan oleh para mistikus pada ribuan tahun yang lalu, sedangkan fenomena yang sama baru ditemukan oleh para fisikawan modern saat ini. Dalam bukunya Misticism and the New Phisics (2002), Michael Talbot mengetakan bahwa, dalam hal keterkaitan fenomena fisik alam raya, yang berhubungan dengan manusia dan realitas kehidupan manusia, mistik telah mengetahui ribuan tahun yang lalu ketika sains baru mengetahuinya sekarang. Fisika dan metafisika telah sampai pada sebuah titik di mana Bahasa tidak lagi membawa informasi. Misalnya, dalam mekanika kuantum, partikel-partikel yang identic dikatakan “tidak dapat di bedakan”. Oleh karenanya, dua electron yang tidak dapat dibedakan dapat dianggap “sama” sekaligus “berbeda”.
Manusia memiliki persoalan besar dengan kesadaran dan bahasanya, kesadaran manusia memiliki persoalan dengan pikiran manusia, di mana dalam fisika modern di katakana bahwa pikiran manusia memiliki tangan dalam dunia objektif manusia. Bahwa pikiran manusia bekerja berdasarkan kesadarannya terhadap alam semesta yang ada, sementara kesadaran manusia memiliki hubungan yang sangat terbatas dengan realitas subjektif dan realitas objektif.

            Sesungguhnya kesadaran manusia tentang realitas tergantung pada bagaimana syaraf-syaraf otak kita bekerja, dengan demikian mistik adalah sebuah persoalan biologis manusia dalam menangkap fenomena alam semesta, atau dengan kata lain bagaimana kemampuan biologis manusia menangkap dunia omnijektif adalah persoalan kesadaran manusia. Ini semua adalah problem mistik manusia, terustama ketika kemampuan omnijektif dan kesadaran itu harus dibahasakan.[1]


2.      Yunani Kuno (600SM)

Pada periodisasi sekitar 600SM periode ini ditandai oleh pergeseran pemikiran dari mitos ke logos. Penjelasan-penjelasan mistik yang berdasarkan kepercayaan irasional tentang gejala-gejala alam bergeser pada penjelasan logis yang berdasarkan pada rasio.

Mengacu kepada Adian (2002: 7), bahwa pada masa ini, filsuf-filsuf alam mulai mencari penjelasan rasional atau prinsip dasar yqng melandasi gejala-gejala alam berselebung kabut mistis, Para filsuf alam mulai menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan  tentang asas pertama (arkhe) dan prinsip yang mengatur alam semesta. Thales (hidup sekitar tahun 585 SM) misalnya mengatakan, air adalah arkhe dari alam semesta, alasannya air dapaf mengambif berbagai macam wujud dan keabsahannya (moist) dianggap sebagai kehidupan itu sendiri yang selalu bergerak. Air diyakini oleh Thales sebagai dasar terbentuknya alam semesta. Para filsuf alam lain yang juga mengembangkan pemikiran tentang kosmos (alam) antara lain: Anaximander (610-547 SM) dan Anaximenes (sekitar 546 SM). Apa yang para filsuf alam kembangkan sebenarnya merupakan cikal bakal disiplin ilmu fisika.[2]

3.      Abad Pertengahan (300 SM-1300 M)

 Menurut Adian (2002: 9), pemikiran filsuf pada abad ini kehilangan otonominya. Pemikiran abad pertengahan bercirikan teosentris (berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan). Para filsuf rohaniawan seperti Thomas Aquinas (1225-1274) dan St. Bonaventura (1221-1257) adalah rohaniawan-rohaniawan yang hendak merekonsiliasi akal dan wahyu. Kebenaran wahyu mereka buktikan tidak berbeda dengan kebenaran yang dihasilkan akal. Meskipun Aquinas bersifat netral terhadap dikotomi iman/akal, atmosfer yanbg meliputi hampir seluru pemikiran di abad pertengahan memperlakukan akal sekedar sebagai hamba perempuan teologi (ansilla theologia). St. Augustinus (1354-1430) bahkan tidak percaya akan kekuatan akal semata dalam mencapai kebenaran. Kebenaran utama adalah kebenaran teologis yang bermaktub dalam wahyu Tuhan. Manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati tanpa ilminasi kebenaran Ilahi. Singkatnya, rasionalitas mengalami deotonomisasi dari posisinya semula yang independent pada masa filusuf-filusuf Yunani. Filsafat menjadi abdi dari teologi di mana pemikiran-pemikiran filsuf-rohaniawan untuk merekonsiliasi iman dan akal juga tidak banyak membawa hasil. Di masa ini pertentangan antara wahyu dan akal bahkan semakin menajam dan cenderung mengeras. Banyak sekali ilmuan yang dieksekusi karena mewar-takan kebenaran ilmiah yang tidak sesuai dengan kebenran wahyu. Ilmu pengetahuan pun menjadi surut perkembangannya.[3]


B.     Di Indonesia

1.      Permulaan sosiologi di Indonesia

Walau pada hakikatnya para pujangga dan pemimpin Indonesia belum pernah mempelajari teori-teori formal sosiologi sebagai ilmu pengetahuan namun banyak di antara mereka yang telah memasukkan unsur-unsur sosiologi ke dalam ajaran-ajarannya.
Ajaran Wulan Reh yang di ciptakan oleh Sri paduka Mangkunegoro IV dari Surakarta antara lain mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).

Almarhum Ki Hadjar Dewantoro, pelopor utama yang meletakkan dasar-dasar bagi Pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan yang sangat banyak pada sosiologi dengan konsep-konsepnya mengenai kepemimpinan dan kekeluargaan Indonesia yang dengan nyata dipraktekkan dalam organisasi Pendidikan Taman Siswa.[4]

Dari keterangan-keterangan di atas, nyatalah bahwa unsur-unsur sosiologi tidak digunakan dalam suatu ajaran atau teori yang murni sosiologi, akan tetapi sebagai landasan untuk tujuan lain yaitu ajaran tata hubungan antar manusia dan Pendidikan.  Apabila dilihat hasil-hasil karya para sarjana  (kebanyakan) orang belanda, sebelum perang dunia ke dua, yang mengambil masyarakat Indonesia sebagai pusat perhatian seperti misalnya tulisan-tulisan snouck Hurgronje, C, van Volllenhoven, ter Haar, Duyvendak dan lain-lain, maka di dalam hasil-hasil karya itupun tampak adanya unsur-unsur sosiologis yang dipergunakan dan dikupas secara ilmiah, akan tetapi kesemuanya hanya dalam kerangka yang non-sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Hal itu tidaklah berarti bahwa metode yang digunakan untuk meneropong sesuatu masalah atau gejala sosiologis adalah salah atau tidak dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah; sama sekali tidak. Keterangan di atas hanyalah dimaksudkan untuk menyatakan, bahwa sosiologi, pada waktu itu di Indonesia, dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan begitu sosiologi, pada waktu itu di Indonesia, dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan perkataan lainnya. Sosiologi pada saat itu belum cukup di anggap penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan =, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Sekolah Tinggi Hukum (rechtshogeschool) di Jakarta pada waktu itu adalah satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang sebelum perang dunia ke dua, memberikan kuliah-kuliah sosiologi di Indonesia. Di sinipun ilmu pengetahuan tersebut hanyalah dimaksudkan sebagai pelengkap bagi mata pelajaran ilmu hukum. Yang memberikan kuliah-kuliah pun bukanlah sarjana-sarjana yang secara khusus memusatkan perhatiannya pada sosiologi, oleh karena pada waktu itu belum ada spesialis sosiologi baik di Indonesia maupun di negeri Belanda. Sosiologi yang di kuliahkan pada waktu itu untuk sebagian besar bersifat filsafat social dan teoritis, berdasarkan buku-buku hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold von Wies, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun-tahun 1934/1935 kuliah-kuliah sosiologi pada Sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan oleh karena pada waktu itu, para guru besar yang memegang tanggung jawab dalam menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam hubungan dengan pelajaran hukum. Di dalam pandangan mereka, yang perlu di ketahui adalah hukum positif yaitu peraturan-peraturan yang berlaku dengan sah pada suatu wajtu dan suatu tempat tertentu. Apa yang menjadi sebab terjadinya suatu peraturan dan apa yang sebenarnya menjadi tujuannya, dianggap tidak penting dalam pelajaran ilmu hukum. Yang penting adalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya.
Di dalam tingkatan perkembangan sosiologi yang demikian itu, di mana teori diutamakan sedangkan ilmunya belum dianggap penting untuk dipelajari tersendiri, maka tidak dapat diharapkan berkembangnya penelitian sosiologis yang mencoba menemukan kenyataan-kenyataan sosiologi dalam masyarakat Indonesia.[5]


2.      Perkembangan Sosiologi Sesudah Perang Dunia Kedua

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2017, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya memberi mata kuliah sosiologi (1948) pada akedemi  ilmu politik di Yogyakarta (akedemi tersebut kemudian di lebur ke dalam Universitas Negri Gadjah Mada dan kemudian menjadi Fakultas Sosial dan Politik). Beliau memberikan kuliah-kuliah di dalam bahasa Indonesia, hal mana merupakan suatu kejadian baru, oleh karena sebelum perang dunia kedua, semua kuliah pada perguruan-perguruan tinggi diberikan dalam bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam jurusan pemerintahan dalam negeri, hubungan Iuar negeri dan publisistik. Oleh sebab itu,naka kuliah-kuliah dalam ilmu pengetahuan tersebut sukar sekali untuk mencetuskan keinginan pada para sarjana, untuk memperdalam dan kemudian memperkembangkan sosiologi. Dengan dibukanya kesempatan bagi para. sarjana dan mahasiswa Indonesia untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuannya tentang sosiologi, bahkan ada di antaranya yang mempelajari ilmu tersebut secara khusus. Bertambahnya orang-orang yang memperdalam dan mengkhususkan diri dalam sosiologi tidak hanya menjadi dorongan untuk berkembangnya dan meluasnya ilmu pengetahuan tadi, akan tetapi sckaligus membawa pembahan dalam sifat dan sosiologi di Indonesia.
Buku Sosiologi dalam bahasa Indonesia mulai diterbitkan sejak satu tahun setelah pecahnya revolusi fisik yaitu Sosiologi Indonesia oleh Djody Gondokusumo yang memuat beberapa pengertiana elementer dari sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai filsafat. Buku itu pada saat tersebut, mendapat sambutan baik mengingat suasana. revolusi fisik pada waktu itu, di mana mulai terasa suatu kehausan pada golongan temelajar akam ilmu pengetahuan Yang  mungkin akan dapat .membantu mereka di dalam .usaha-usahanya memahami perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat dalarw masyarakat Indonesia. Kira-kira dalam tahun 1950, setelah usai revolusi fisik, menyesullah suatu buku Sosiologi yang terbitkan oleh Bardosono, yang sebenarnya merupakan sebuah diktat yang ditulis seorang mahasiswa yang mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dari seorang gurubesar yang tidak di sebutkan namanya dalam buku tersebut.
Selanjutnya dapatlah dikemukakan buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan buku pelajaran pertama di dalam Bahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern. Dalam suasana perkembangan perguruan tinggi di Indonesia, juga karena kurangnya buku-buku sosiologi dalam Bahasa Indonesia, maupun yang diimpor dari luar negeri, ditambah pula kekurangan kemampuan yang ada pada para mahasiswa tingkat Persiapan maka buku Hassan Shadily (lulusan Cornel University di Amerika Serikat) memenuhi keperluan para mahasiswa yang mulai belajar ilmu pengetahuan tersebut sebagai ilmu pembantu.
Para pengajar yang mengikuti ajaran sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschappijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschappij.
Lebih luas, tetapi uraian mengenai, pengertian-pengertian pokoknya kurang sistematis, adalah buku pelajaran sosiologi yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas hasil karya Mayor Polak, seorang warga negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua  Pada Universitas Leiden di negeri Belanda. Mayor Polak juga telah  menulis suatu buku mengenai Sosiologi khusus yang berjudul  Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan Politik yang terbit pada 1967.
 Sesuai dengan taraf permulaan .dalam perkembangan ilmu sosiologi dewasa ini di Indonesia, maka adanya buku-buku berbahasa  Indonesia dalam bidangt tersebut masih bersifat sebagai buku pelajaran untuk menolong para mahasiswa di dalam pelajarannya tentang asas-asas serta persoalan-persoalan dari ilmu pengetahuan itu. Sepanjang   pengetahuan, kecuali buku Mayor Polak, pada dewasa ini buku lain dalam bahasa Indonesia yang mengenai masalah-masalah sosiologi khusus adalah sosiologi hukum oleh Satjipto Rahardjo, Soerjono Soekanto, dan lain-lain, serta juga sosiologi kota oleh N. Daldjoeni, dan seterusnya.
Dalam rangka buku-buku sosiologi yang dikarang oleh orang Indonesia, dapat disebutkan pula buku Social Changes in Yogyakarta hasil karya Selo Soemardjan yang terbit dalam tahun 1962. Buku yang ditulis dalam Bahasa Inggris itu merupakan disertasi penulis untuk mendapatkan gelar doctor pada Cornel University, Amerika Serikat. Isinya adalah perihal perubahan-perubahan dalam masyarakat di Yogyakarta sebagai akibat dari revolusi politik dan sosial, pada waktu revolusi masih berpusat di kota Yogyakarta. Bersama Soelaeman Soemardi, pengarang yang sama telah menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text-book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia. Buku yang berjudul setangkai Bunga Sosiologi itu diterbitkan pada 1964 dan dipakai sebagai bacaan wajib pada beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta. Tidak kurang pentingnya pula bagi perkembangan sosiologi adalah karangan-karangan pendek mengenai masalah-masalah sosiologi yang tersebar di sana-sini, baik dalam bentuk publikasi yang dicetak dalam majalah-majalah berkala atau tak berkala, maupun dalam bentuk stensilan yang hanya dapat dibaca dalam kalangan peminat yang tidak luas.
Pada dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunya Fakultas Sosial dan Politik atau Fakultas Ilmu Sosial  di mana sosiologi dikuliahkan sampai tingkat yang lebih tinggi daripada tinggat persiapan. Namun, belum ada Universitas yang mempunyai Fakultas tersendiri khusus untuk sosiologi. Yang telah ada ialah jurusan sosiologi pada beberapa fakultas, misalnya pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, pada Fakultas Ilmu sosial Universitas Indonesia dan pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Pajajaran. Dari jurusan sosiologi itulah diharapkan sumbangan dan dorongan lebih besar untuk mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia untuk kepentingan umum dan masyarakat.
Penelitian-penelitan sosiologis di Indonesia belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena itu masyarakat masih terlampau percaya pada angka-angka yang relative mutlak. Sosiologi tidak akan mungkin menghasilkan hal-hal yang berlaku mutlak, oleh karena masing-masing manusia mempunyai kekhususan, sehingga sulit sekali untuk menerapkan teori-teori sosiologi secara umum. Apalagi masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang mencangkup beratus suku. Dalam hal ini masih diperlukan usaha yang tekun dan keras untuk menempatkan peneletian sosiologis pada tempat yang wajar.[6]





[1]  Burhan Bungin, sosiologi komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.4.

[2] Burhan Bungin, sosiologi komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.7.

[3] Burhan Bungin, sosiologi komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.7.


[4] Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm.56.
[5] Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm.57.
[6] Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm.58.

Komentar